* Artikel ini adalah hasil kolaborasi antara Kantor Hukum Surabaya Law Firm dengan Firma Hukum Sahardjo Pejuang Keadilan, Jakarta Selatan
- Pendahuluan
Unjuk rasa yang dimulai pada 25 Agustus 2025 di seluruh Indonesia sebagai bentuk protes terhadap tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan isu-isu lain seperti kenaikan pajak serta dugaan korupsi telah berkembang menjadi kerusuhan dan penjarahan. Peristiwa ini melibatkan perusakan fasilitas umum, pembakaran gedung, serta aksi penjarahan properti pribadi anggota DPR, yang menimbulkan korban jiwa dan kerugian material yang signifikan.

- Analisis Hukum
A. Konteks Hukum Unjuk Rasa
Unjuk rasa merupakan hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 28 UUD 1945 dan diatur lebih lanjut dalam UU No. 9 Tahun 1998 tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.
Berikut bunyi Pasal 28 UUD 1945, yakni :
“Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.”
Namun, ketika demonstrasi berubah menjadi anarkis dengan perusakan fasilitas umum dan penjarahan, tindakan tersebut melampaui batas hukum dan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana.
B. Pasal-Pasal Pidana yang Berlaku
- Perusakan Fasilitas Umum (Pasal 170 KUHP dan Pasal 406 KUHP ayat 1)
Dimana pasal 170 KUHP berbunyi,
“Pasal 170
(1) Barang siapa dengan terang-terangan dan dengan tenaga bersama menggunakan kekerasan terhadap orang atau barang, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan.
(2) Yang bersalah diancam:
- dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun, jika ia dengan sengaja menghancurkan barang atau jika kekerasan yang digunakan mengakibatkan luka-luka;
- dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun, jika kekerasan mengakibatkan luka berat;
- dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika kekerasan mengakibatkan maut.”
Dan pasal 406 ayat 1 KUHP berbunyi,
“Pasal 406
(1) Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum menghancurkan, merusakkan, membikin tak dapat dipakai atau menghilangkan barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”

- Penjarahan (Pasal 365 KUHP)
Pasal 365 KUHP berbunyi,
Pasal 365
(1) Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun pencurian yang didahului, disertai atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang yang dicuri.
(2) Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun:
- jika perbuatan dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan;
- jika perbuatan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu;
- jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian jabatan palsu;
- jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat.
(3) Jika perbuatan mengakibatkan kematian, maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun.
(4) Diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal yang diterangkan dalam no. 1 dan 3.
Aksi penjarahan di kediaman Ahmad Sahroni dan anggota DPR lainnya, termasuk pengambilan kursi, lemari, uang, dan barang berharga lainnya, memenuhi unsur pencurian dengan kekerasan. Pelaku dapat dihukum penjara hingga 9 tahun ataupun 12 tahun, tergantung pada tingkat keterlibatan.
Bisa diterapkan juga Pasal 368 KUHP untuk Pemerasan:
Jika terdapat indikasi ancaman atau kekerasan untuk memaksa pemilik menyerahkan barang (misalnya, massa yang menggeruduk dengan intimidasi), pasal ini dapat diterapkan:
“Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa seorang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan untuk memberikan barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang itu atau orang lain, atau supaya membuat hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.”
- Pidana Pembakaran Disengaja (Pasal 187 KUHP)
Pasal 187 KUHP:
“Barang siapa dengan sengaja menimbulkan kebakaran, ledakan atau banjir, diancam:
- dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya umum bagi barang;
- dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain;
- dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun, jika karena perbuatan tersebut di atas timbul bahaya bagi nyawa orang lain dan mengakibatkan orang mati.”
Pembakaran gedung DPRD dan markas polisi oleh massa demonstran termasuk dalam kategori ini, dengan ancaman pidana penjara hingga 12 tahun jika terbukti sengaja dilakukan.
- Kerusuhan dan Pengacauan Ketertiban Umum (Pasal 160 KUHP)
Bunyi Pasal 160 KUHP, yakni :
“Barang siapa di muka umum dengan lisan atau tulisan menghasut supaya melakukan perbuatan pidana, melakukan kekerasan terhadap penguasa umum atau tidak menuruti baik ketentuan undang-undang maupun perintah jabatan yang diberikan berdasar ketentuan undang-undang, diancam dengan pidana penjara paling lama enam tahun atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.”
Jika ada pihak yang sengaja memprovokasi kerusuhan melalui narasi atau tindakan di muka umum, pasal ini dapat diterapkan.
C. Tanggung Jawab Hukum
Pelaku Langsung. Individu yang terlibat dalam perusakan, pembakaran, atau penjarahan dapat dijerat berdasarkan pasal-pasal di atas, dengan bukti seperti rekaman video (misalnya, siaran langsung di TikTok).
Provokator. Berdasarkan Pasal 55 KUHP, siapa pun yang menyuruh atau menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana (seperti penyebar pesan berantai juga dapat dipidana sebagai pelaku.
Aparat Keamanan. Jika terbukti ada penggunaan kekerasan berlebihan, aparat dapat diminta pertanggungjawaban yaitu ganti kerugian berdasarkan Pasal 95 KUHAP (ganti rugi akibat tindakan pejabat yang salah) atau Pasal 351 KUHP (penganiayaan).
Pasal 95 KUHAP berbunyi,
“Pasal 95
(1) Tersangka, terdakwa atau terpidana berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili atau dikenakan tindakan lain, tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan;
(2) Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atas penangkapan atau penahanan serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, diputus di sidang praperadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77;
(3) Tuntutan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diajukan oleh tersangka, terdakwa, terpidana atau ahli warisnya kepada pengadilan yang berwenang mengadili perkara yang bersangkutan;
(4) Untuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan ganti kerugian tersebut pada ayat (1) ketua pengadilan sejauh mungkin menunjuk hakim yang sama yang telah mengadili perkara pidana yang bersangkutan;
(5) Pemeriksaan terhadap ganti kerugian sebagaimana tersebut pada ayat (4) mengikuti acara praperadilan.”
Pasal 351 KUHP berbunyi,
“Pasal 351
(1) Penganiayaan diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
(2) Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat, yang bersalah diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
(3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.”
- Rekomendasi Pencegahan Demo Ricuh
Untuk mencegah terulangnya demo yang berubah menjadi ricuh, berikut adalah rekomendasi berbasis pendekatan hukum, sosial, dan administrasi:
A. Peningkatan Edukasi Hukum dan Dialog Publik
Pemerintah dan DPR perlu mengadakan kampanye edukasi tentang batas-batas hukum unjuk rasa sesuai UU No. 9 Tahun 1998, termasuk sanksi pidana atas perusakan dan penjarahan. Dialog terbuka dengan elemen masyarakat (mahasiswa, buruh, petani) dapat mengurangi eskalasi emosi.
B. Pengaturan Lebih Ketat Prosedur Unjuk Rasa
Peraturan Kepala Kepolisian RI No 7 Tahun 2012 tentang Tata Cara Penyelenggaraan Pelayanan-Pengaman-Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum perlu diperbarui untuk memastikan koordinasi antara polisi, panitia demo, dan pemerintah daerah. Pemberitahuan wajib unjuk rasa harus diikuti dengan rencana pengamanan yang jelas.
C. Penegakan Hukum yang Adil dan Transparan
Proses penegakan hukum terhadap pelaku harus dilakukan secara selektif dan transparan, dengan bukti yang sah, untuk menghindari persepsi diskriminasi. Pengadilan dapat memanfaatkan teknologi seperti rekaman video untuk identifikasi pelaku.
D. Peningkatan Kepekaan Sosial Pemerintah
Respons cepat terhadap aspirasi publik, seperti menunda kebijakan kontroversial (misalnya, tunjangan DPR) dan menyelidiki dugaan korupsi, dapat mengurangi pemicu unjuk rasa. Pembentukan tim mediasi independen dapat membantu menjembatani kepentingan.
E. Penguatan Fasilitas Keamanan dan Infrastruktur
Pemerintah daerah perlu meningkatkan pengawasan fasilitas umum dengan teknologi CCTV dan personel keamanan yang terlatih, serta merancang infrastruktur yang tahan terhadap kerusuhan. misalnya, halte modular yang mudah diperbaiki.
F. Pendekatan Preventif Berbasis Komunitas
Melibatkan tokoh masyarakat, agama, dan pemuda untuk memantau potensi konflik dan menengahi sebelum eskalasi. Program pelatihan manajemen emosi dan resolusi konflik dapat diterapkan di kalangan mahasiswa dan buruh.
- Penutup
Peristiwa demo ricuh Agustus 2025 menunjukkan adanya ketegangan sosial yang tidak terkelola dengan baik, yang berujung pada pelanggaran hukum berat seperti perusakan fasilitas umum dan penjarahan.
Dengan pendekatan preventif yang komprehensif, hal ini mencakup edukasi, dialog, penegakan hukum adil, dan penguatan infrastruktur, agar demo yang produktif dapat terwujud tanpa mengorbankan keamanan dan ketertiban umum.