Opini Hukum: Analisis Kasus Dugaan Korupsi Kredit Macet PT Sritex

  • Updated
  • Posted in Opini Hukum
  • 6 mins read

* Artikel ini adalah hasil kolaborasi antara Kantor Hukum Surabaya Law Firm dengan Firma Hukum Sahardjo Pejuang Keadilan, Jakarta Selatan

Pendahuluan

Kasus korupsi kredit macet PT Sritex melibatkan dugaan penyalahgunaan fasilitas kredit dengan total ada Rp 3,5 triliun tagihan yang belum dilunasi oleh Sritex hingga Oktober 2024. Rinciannya adalah Bank Jateng sebanyak Rp 395,6 miliar, Bank BJB sebesar Rp 543,9 miliar, Bank DKI Rp 149 miliar dan 2,5 Triliun pemberian kredit hasil kerja sama atau sindikasi dari Bank BNI, Bank BRI dan LPEI.

Hal ini yang menyebabkan dugaan kerugian negara sebesar Rp692 miliar dari Bank BJB dan Bank DKI saja. Mantan Direktur Utama PT Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) pada 22 Mei 2025. Kasus ini menarik perhatian karena dampaknya terhadap keuangan negara dan industri tekstil di Indonesia. 

Opini hukum ini menganalisis aspek hukum, proses penegakan hukum, tantangan, dan rekomendasi untuk menangani kasus ini berdasarkan hukum yang berlaku.

kasus hukum sritex

Fakta Kasus

  • PT Sritex, perusahaan tekstil terkemuka di Solo, Jawa Tengah, memperoleh fasilitas kredit dari Bank-bank Pemerintah antara 2013 dan 2021.
  • Kejagung menduga kredit tersebut disalahgunakan melalui pengajuan pinjaman dengan dokumen fiktif dan pengalihan dana untuk keperluan di luar perjanjian, menyebabkan kredit macet.
  • Kerugian negara diperkirakan Rp 692 miliar dari Bank BJB dan Bank DKI, sebagaimana dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
  • Iwan Setiawan Lukminto, mantan Direktur Utama, ditetapkan sebagai tersangka pada 22 Mei 2025, bersama beberapa pihak lain, termasuk pejabat bank dan entitas eksternal.
  • Kejagung telah memeriksa Direktur Independen PT Sritex dan menyita aset terkait untuk pemulihan kerugian.

Analisis Hukum

1. Identifikasi Tindak Pidana

  • Kasus ini melibatkan dugaan tindak pidana korupsi, khususnya penyalahgunaan fasilitas kredit yang merugikan keuangan negara. Unsur-unsur tindak pidana korupsi berdasarkan Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan bunyi : 

“(1)Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

  • Unsur-unsur pasal ini tampak terpenuhi:
  • Perbuatan Melawan Hukum: Dugaan pengajuan dokumen fiktif dan pengalihan dana kredit untuk tujuan di luar perjanjian melanggar ketentuan perjanjian kredit dan hukum perbankan.
  • Kerugian Negara: Kerugian Rp692 miliar dari Bank BJB dan Bank DKI, yang termasuk bank milik negara, memenuhi unsur kerugian keuangan negara.
  • Memperkaya Diri atau Korporasi: Dugaan pengalihan dana menunjukkan adanya niat memperkaya diri atau pihak lain.

2. Proses Penegakan Hukum

  • Kejagung telah memulai penyidikan dengan memeriksa saksi, termasuk Direktur Independen PT Sritex, dan menyita aset terkait. 
  • Yang menjadi dasar untuk jaksa dalam melakukan penyidikan terhadap kasus korupsi terdapat dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan diatur dalam pasal 30 ayat (1) huruf d menyebutkan : Tugas dan Kewenangan Jaksa adalah “melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang”. Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang adalah diatur dalam Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Implikasi Hukum

Jika terbukti bersalah, tersangka dapat menghadapi hukuman berat:

  • Pasal 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan bunyi : 

“(1)Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).”

Selain itu, Pasal 18 UU Tipikor, yang berbunyi, 

“(1)Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah :

a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;

b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;

c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;

d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.

(2)Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.

(3) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.”

  • Hal ini memungkinkan penyitaan aset untuk pemulihan kerugian negara. 
  • Kasus ini juga memiliki implikasi sosial dan ekonomi, seperti menurunnya kepercayaan investor terhadap industri tekstil dan perbankan.
kasus hukum sritex

Tantangan Hukum

  • Pembuktian Niat. Membuktikan unsur kesengajaan dalam penyalahgunaan kredit memerlukan bukti kuat, seperti dokumen fiktif atau aliran dana yang jelas.
  • Keterlibatan Korporasi. Menentukan tanggung jawab PT Sritex sebagai entitas korporasi memerlukan bukti bahwa tindakan tersebut merupakan kebijakan perusahaan.
  • Pemulihan Kerugian. Menelusuri aset yang telah dialihkan untuk pemulihan kerugian negara merupakan tantangan teknis yang kompleks.
  • Tekanan Publik. Sebagai perusahaan besar, kasus ini menarik perhatian publik, yang dapat mempengaruhi independensi penegakan hukum.

Rekomendasi

  • Audit Forensik Mendalam. Kejagung perlu bekerja sama dengan BPK dan ahli keuangan untuk melacak aliran dana dan mengidentifikasi aset yang dapat disita.
  • Tanggung Jawab Korporasi. Selidiki struktur tata kelola PT Sritex untuk menentukan apakah ada kelemahan sistemik yang memungkinkan penyalahgunaan kredit.
  • Pemulihan Aset. Terapkan Pasal 18 UU Tipikor untuk menyita aset tersangka dan perusahaan guna meminimalkan kerugian negara.
  • Transparansi Publik. Berikan pembaruan berkala kepada publik untuk menjaga kepercayaan terhadap proses hukum, tanpa mengorbankan kerahasiaan penyidikan.
  • Pencegahan di Masa Depan. Dorong Bank BJB, Bank BRI, Bank Jateng, Bank BNI, Bank DKI, LPEI, dan bank lain untuk memperketat pengawasan kredit dan due diligence untuk mencegah kasus serupa.

Kesimpulan

Kasus korupsi kredit macet PT Sritex menunjukkan penyalahgunaan fasilitas kredit yang signifikan, dengan kerugian negara Rp 692 miliar dari Bank BJB dan Bank DKI. Dengan dasar hukum UU Tipikor dan UU Kejaksaan, Kejagung telah mengambil langkah yang sesuai dengan menetapkan tersangka dan menyita aset. 

Namun, tantangan seperti pembuktian niat dan pemulihan kerugian memerlukan pendekatan yang cermat. Rekomendasi ini bertujuan untuk memastikan keadilan, pemulihan kerugian, dan pencegahan kasus serupa di masa depan, sekaligus menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan industri perbankan.

Sumber Berita 

https://www.tempo.co/hukum/kejagung-periksa-direktur-independen-pt-sritex-di-kasus-korupsi-kredit-macet–1745734
https://news.detik.com/berita/d-7925881/konstruksi-kasus-bos-sritex-kredit-macet-rp-3-5-t-negara-rugi-rp-692-m
https://nasional.kompas.com/read/2025/05/22/06164791/fakta-fakta-kasus-sritex-eks-dirut-jadi-tersangka-kredit-disalahgunakan?page=all