- Artikel ini adalah hasil kolaborasi antara Kantor Hukum Surabaya Law Firm dengan Aliansi Advokat dan Paralegal Indonesia, Jakarta Selatan
1. Kronologi Fakta
Pada tanggal 31 Juli 2025, Presiden Prabowo Subianto mengumumkan pemberian abolisi kepada Thomas Trikasih Lembong (Tom Lembong), mantan Menteri Perdagangan, dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto, Sekretaris Jenderal PDIP, melalui konferensi pers yang disampaikan oleh Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly di Gedung DPR RI, Jakarta.
Keputusan ini diambil dengan pertimbangan untuk mempromosikan persatuan nasional menjelang peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 pada 17 Agustus 2025.
Tom Lembong sebelumnya dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp750 juta dalam kasus impor gula ilegal, dengan proses hukumnya masih dalam tahap banding, sehingga belum berkekuatan hukum tetap (inkrah).
Sementara itu, Hasto Kristiyanto divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp250 juta dalam kasus obstruction of justice terkait kasus Harun Masiku. Menurut , Dr. Muhammad Fatahillah Akbar dari UGM menyoroti bahwa abolisi diberikan kepada Tom Lembong karena kasusnya belum inkrah, sedangkan amnesti diberikan kepada Hasto karena status hukumnya dianggap telah inkrah atau mendekati inkrah.
Keputusan ini memicu polemik di kalangan masyarakat dan akademisi hukum, yang mempertanyakan transparansi, urgensi politis, dan konsistensi dengan prinsip negara hukum.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Hadi Tjahjanto, menyatakan bahwa keputusan ini bertujuan untuk menjaga keutuhan bangsa, tetapi banyak pihak, termasuk pakar hukum, menilai bahwa pemberian ini lebih bersifat politis daripada berbasis keadilan substantif.

2. Kajian Hukum
Pemberian abolisi dan amnesti diatur dalam beberapa peraturan perundang-undangan di Indonesia, yang memberikan wewenang kepada presiden sebagai kepala negara untuk mengambil tindakan hukum luar biasa ini. Berikut adalah analisis hukum berdasarkan dasar hukum yang relevan:
a. Dasar Hukum Konstitusional
Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945:
“Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.”
Pasal ini memberikan hak prerogatif kepada presiden untuk memberikan amnesti dan abolisi, dengan syarat bahwa keputusan tersebut harus mempertimbangkan masukan DPR sebagai bagian dari mekanisme checks and balances dalam sistem presidensial Indonesia.
Dalam kasus ini, Menteri Hukum dan HAM menyatakan bahwa DPR telah memberikan pertimbangan.
b. Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi
Pasal 1:
“Presiden, atas kepentingan Negara, dapat memberi amnesti dan abolisi kepada orang-orang yang telah melakukan sesuatu tindakan pidana. Presiden memberi amnesti dan abolisi ini setelah mendapat nasihat tertulis dari Mahkamah Agung yang menyampaikan nasihat itu atas permintaan Menteri Kehakiman.”
Pasal ini menegaskan bahwa pemberian amnesti dan abolisi harus didasarkan pada kepentingan negara dan memerlukan nasihat tertulis dari Mahkamah Agung atas permintaan Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM).
Pasal 4:
“Dengan pemberian amnesti, semua akibat hukum pidana dihapuskan terhadap orang-orang yang dimaksud. Dengan pemberian abolisi, maka penuntutan terhadap orang-orang yang tersebut ditiadakan.”
Pasal ini membedakan antara amnesti dan abolisi. Amnesti menghapus seluruh akibat hukum pidana setelah putusan berkekuatan hukum tetap (inkrah), sedangkan abolisi menghentikan proses penuntutan sebelum putusan inkrah.
Dalam kasus ini, abolisi diberikan kepada Tom Lembong karena kasusnya masih dalam proses banding (belum inkrah), sedangkan amnesti diberikan kepada Hasto Kristiyanto, yang dianggap telah mendekati status inkrah atau telah inkrah.
c. Analisis Hukum dan Kontroversi

- Keabsahan Hukum: Pemberian abolisi dan amnesti kepada Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto sah secara hukum berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 dan Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi, selama prosedur seperti pertimbangan DPR dan nasihat Mahkamah Agung dipenuhi. Namun, kurangnya transparansi mengenai alasan spesifik dan dokumen pendukung menimbulkan pertanyaan tentang kepatuhan terhadap prosedur ini.
- Pertimbangan Politik: Menkumham menyatakan bahwa keputusan ini bertujuan untuk persatuan nasional menjelang Hari Kemerdekaan.
- Namun, pakar hukum seperti Dr. Muhammad Fatahillah Akbar dari UGM menyoroti bahwa abolisi dan amnesti seharusnya diberikan dalam konteks rekonsiliasi nasional atau konflik politik besar, bukan untuk kasus individu yang tidak jelas kaitannya dengan kepentingan nasional.
- Dampak pada Keadilan: Menurut paradigma hukum progresif yang dikembangkan oleh Satjipto Rahardjo, hukum harus berpihak pada keadilan substantif, bukan hanya prosedural. Pemberian abolisi dan amnesti tanpa alasan yang jelas dan transparan dapat mencederai rasa keadilan masyarakat, terutama karena kedua individu adalah figur publik yang terkait dengan kasus korupsi dan obstruction of justice.
- Implikasi terhadap Pemberantasan Korupsi: Pemberian ini dianggap sebagai preseden buruk dalam pemberantasan korupsi, sebagaimana dinyatakan dalam artikel Hukumonline. Hal ini dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung, yang telah menangani kasus-kasus ini dengan serius.
d. Yurisprudensi dan Doktrin Hukum
Menurut Prof. Andi Hamzah dalam Pengantar Hukum Pidana Indonesia (2008), abolisi hanya layak diberikan untuk tujuan humaniter atau untuk menghindari konflik sosial-politik besar. Dalam kasus ini, tidak ada indikasi bahwa kasus Tom Lembong atau Hasto Kristiyanto memenuhi kriteria tersebut.
Jimly Asshiddiqie dalam Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia (2005) menegaskan bahwa hak prerogatif presiden harus dikendalikan oleh mekanisme hukum dan DPR untuk menjaga supremasi konstitusi dan akuntabilitas demokratis. Kurangnya transparansi dalam kasus ini menunjukkan kelemahan dalam mekanisme checks and balances.
3. Kesimpulan
Pemberian abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto Kristiyanto sah secara hukum berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUD 1945 dan UU Darurat No. 11/1954, karena presiden memiliki hak prerogatif untuk memberikan tindakan hukum luar biasa ini dengan pertimbangan DPR.
Abolisi untuk Tom Lembong sesuai karena kasusnya belum inkrah, sedangkan amnesti untuk Hasto Kristiyanto sesuai dengan status hukumnya yang dianggap mendekati inkrah. Namun, keputusan ini memicu kontroversi karena kurangnya transparansi dalam pertimbangan yang digunakan, yang dapat dianggap bersifat politis dan berpotensi melemahkan kepercayaan publik terhadap supremasi hukum dan pemberantasan korupsi.
Tanpa alasan yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan, keputusan ini dapat dianggap sebagai preseden buruk dalam penegakan hukum di Indonesia.
4. Saran
Untuk memastikan keadilan dan menjaga kepercayaan publik terhadap sistem hukum, beberapa rekomendasi dapat dipertimbangkan:
- Transparansi Publik. Pemerintah harus mempublikasikan dokumen pertimbangan dan alasan spesifik di balik pemberian abolisi dan amnesti, termasuk nasihat Mahkamah Agung dan pertimbangan DPR, untuk memenuhi prinsip akuntabilitas demokratis.
- Peran DPR yang Kritis. DPR harus memainkan peran yang lebih aktif dan independen dalam memberikan pertimbangan, bukan hanya menyetujui secara formal, untuk memastikan keputusan sesuai dengan kepentingan nasional dan keadilan.
- Reformasi Prosedur. Perlu ada reformasi dalam UU Darurat No. 11/1954 untuk membatasi pemberian amnesti dan abolisi hanya pada situasi luar biasa, seperti konflik politik besar atau rekonsiliasi nasional, dengan prosedur yang lebih ketat dan transparan.
- Penguatan Pemberantasan Korupsi. Pemerintah harus bekerja sama dengan KPK dan Kejaksaan Agung untuk memastikan bahwa pemberian amnesti dan abolisi tidak melemahkan upaya pemberantasan korupsi, dengan memberikan penjelasan publik yang jelas tentang dampak keputusan ini.
- Edukasi Publik. Luncurkan kampanye untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang hak prerogatif presiden dan batasannya, guna mengurangi persepsi negatif terhadap keputusan ini.
Dengan langkah-langkah ini, pemerintah dapat memastikan bahwa pemberian abolisi dan amnesti tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga diterima secara moral dan sosial oleh masyarakat, sehingga menjaga integritas sistem hukum dan kepercayaan publik.
Sumber Berita :
- Hukumonline: Mengenal Konsep Amnesti dan Abolisi yang Diberikan Kepada Hasto dan Tom Lembong.
- Kompas: Analisis Hukum Abolisi Tom Lembong dan Amnesti Hasto Kristiyanto.
- detikJogja: Pakar Hukum UGM Soroti Pertimbangan di Balik Abolisi Tom Lembong-Amnesti Hasto.