Opini Hukum Terkait Analisis Kasus Ayam Goreng Widuran Solo Terkait Penjualan Menu Non-Halal

  • Updated
  • Posted in Opini Hukum
  • 4 mins read

* Artikel ini adalah hasil kolaborasi antara Kantor Hukum Surabaya Law Firm dengan Firma Hukum Sahardjo Pejuang Keadilan, Jakarta Selatan

A. Pendahuluan 

Kasus Ayam Goreng Widuran Solo yang menjadi viral karena dugaan penjualan menu non-halal, khususnya penggunaan minyak babi dalam proses pengolahan kremesan ayam goreng, menimbulkan permasalahan hukum yang signifikan di Indonesia.

Kasus ini bermula dari ulasan pelanggan di Google Review yang mengungkapkan penggunaan bahan non-halal, diikuti dengan pengakuan manajemen restoran yang akhirnya meminta maaf dan mencantumkan label non-halal.

Opini hukum ini bertujuan untuk menganalisis aspek hukum yang relevan, termasuk kewajiban pelaku usaha terhadap informasi produk, perlindungan konsumen, dan sanksi yang dapat dikenakan, dengan merujuk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kasuss Ayam Goreng Widuran Solo

B. Analisis Hukum

  1. Kewajiban Penyediaan Informasi Produk Halal Berdasarkan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH), yang mulai berlaku efektif sejak 17 Oktober 2019, setiap pelaku usaha yang memproduksi atau menjual makanan wajib memastikan produknya sesuai dengan ketentuan halal jika ditujukan untuk konsumen yang memerlukan jaminan halal. Pasal 4 UU JPH menyatakan bahwa Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Dalam kasus Ayam Goreng Widuran, penggunaan minyak babi sebagai bahan penggorengan kremesan menjadikan produk tersebut non-halal. Namun, ketidaktransparanan awal dalam mencantumkan label non-halal dapat dianggap adanya itikad tidak baik dari pelaku usaha dalam memberikan informasi yang jelas, lengkap, dan benar mengenai status halal atau non-halal produk.
  2. Perlindungan Konsumen Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UU Perlindungan Konsumen) juga relevan dalam kasus ini. Pasal 7 huruf b menyatakan bahwa pelaku usaha wajib memberikan informasi yang benar, jujur, dan mengenai kondisi barang dan jasa yang ditawarkan. Ketidakjelasan informasi mengenai penggunaan minyak babi oleh Ayam Goreng Widuran, terutama setelah beberapa pelanggan Muslim mengklaim telah diberi informasi bahwa produk tersebut halal, dapat dianggap sebagai pelanggaran. Pasal 8 ayat 1 (a) UU Perlindungan Konsumen juga menjelaskan bahwa : Pasal 8
    (1) Pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan/atau jasa yang :
    a. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang- undangan; Pelaku usaha yang melanggar pasal 8 UU Perlindungan Konsumen juga bisa dikenakan sanksi pidana sesuai yang diatur dalam Pasal 62
    (1) Pelaku usaha yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2), dan Pasal 18 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
  3. Sanksi Administratif dan Tindakan Pemerintah Berdasarkan Pasal 63 UU Perlindungan Konsumen, pelaku usaha yang melanggar dapat dikenakan hukuman tambahan, yaitu : perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen. Dalam kasus ini, penutupan sementara restoran oleh Wali Kota Solo Respati Ahmad Ardianto pada 26 Mei 2025 sebagai tindakan awal sejalan dengan Pasal 63 UU Perlindungan Konsumen.
  4. Aspek Pidana Jika terbukti bahwa Ayam Goreng Widuran sengaja memberikan informasi palsu mengenai status halal produknya, hal ini dapat memenuhi unsur pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 378 KUHP. Pasal tersebut menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan tipu muslihat untuk mengelabui orang lain dengan maksud untuk memperoleh sesuatu barang atau uang, dapat dihukum dengan pidana penjara. Bukti ulasan pelanggan yang menyebutkan bahwa mereka diberi informasi “halal” oleh karyawan atau pemilik, meskipun kemudian dibantah, dapat menjadi dasar untuk penyelidikan lebih lanjut oleh pihak berwenang, seperti Kepolisian atau Kejaksaan.
  5. Konsumen yang dirugikan juga bisa melakukan gugatan dengan dasar hukum Pasal 45 UU Perlindungan Konsumen, yang berbunyi : “Pasal 45
    (1) Setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum.”
Kasus Ayam Goreng Widuran Solo

C. Kesimpulan

Berdasarkan analisis di atas, kasus Ayam Goreng Widuran melanggar kewajiban informasi produk halal sebagaimana diatur dalam UU JPH dan UU Perlindungan Konsumen, terutama karena ketidaktransparanan awal mengenai penggunaan minyak babi.

Tindakan manajemen untuk meminta maaf dan mencantumkan label non-halal merupakan langkah awal yang positif, namun tidak menghapus tanggung jawab hukum.

Pemerintah daerah, melalui Dinas Perdagangan dan BPOM, perlu melanjutkan asesmen untuk menentukan sanksi administratif yang sesuai, termasuk kemungkinan pencabutan izin usaha jika terbukti pelanggaran berulang. Selain itu, disarankan agar Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) melakukan investigasi untuk memastikan tidak ada unsur pidana, terutama jika terdapat bukti sengaja menyesatkan konsumen.

D. Rekomendasi

Untuk mencegah kasus serupa, pelaku usaha kuliner di Indonesia harus lebih proaktif dalam mematuhi regulasi halal dan meningkatkan transparansi informasi kepada konsumen.