Opini Hukum terkait Kasus Tindak Pidana Oknum Ormas yang Berujung Premanisme

  • Updated
  • Posted in Opini Hukum
  • 5 mins read

* Artikel ini adalah hasil kolaborasi antara Kantor Hukum Surabaya Law Firm dengan Firma Hukum Sahardjo Pejuang Keadilan, Jakarta Selatan. 

I. Pendahuluan
Kasus tindak pidana yang melibatkan oknum organisasi masyarakat (ormas), seperti pemerasan dan pembunuhan, telah menjadi isu krusial di Indonesia. Kasus ini menunjukkan penyalahgunaan status hukum ormas untuk tindakan kriminal, yang mengancam keamanan masyarakat dan stabilitas ekonomi. Opini hukum ini menganalisis aspek hukum, proses penegakan hukum, tantangan, dan rekomendasi untuk menangani kasus serupa.
Kasus ini menyoroti pola penyalahgunaan status ormas untuk tindak pidana, yang tidak hanya merugikan korban tetapi juga menciptakan ancaman terhadap ketertiban umum dan iklim investasi.

hukum premanisme di Indonesia

II. Dasar Hukum
Kasus ini melibatkan beberapa ketentuan hukum pidana dan peraturan perundang-undangan yang relevan:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP):
  • Pasal 368 ayat (1) KUHP, yang berbunyi :
    “Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, memaksa orang lain dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, untuk memberikan sesuatu barang, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, atau untuk membuat utang atau menghapuskan piutang, diancam karena pemerasan, dengan pidana penjara paling lama 9 tahun.”
    Pasal ini berlaku untuk kasus pemerasan yang dilakukan oleh oknum ormas, sebagaimana dilaporkan.

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas):

    • Pasal 59 ayat (2) D, yang berbunyi :
      “Ormas dilarang melakukan melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial; atau”
      Pelanggaran terhadap pasal ini dapat menjadi dasar untuk pembubaran ormas.
    • Pasal 61, yang berbunyi :
      “Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) terdiri atas:
      a. peringatan tertulis;
      b. penghentian bantuan dan/atau hibah;
      c. penghentian sementara kegiatan; dan/atau
      d. pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.”
      Pasal ini memberikan wewenang kepada pemerintah untuk mencabut status hukum ormas.
    • Pasal 68, yang berbunyi :
      “(1) Dalam hal Ormas berbadan hukum tidak mematuhi sanksi penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 64 ayat (1) huruf b, Pemerintah menjatuhkan sanksi pencabutan status badan hukum.
      (2) Sanksi pencabutan status badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dijatuhkan setelah adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap mengenai pembubaran Ormas berbadan hukum.
      (3) Sanksi pencabutan status badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia.”

    3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),

      • Pasal 6 ayat (1), yang berbunyi :
        “(1) Penyidik adalah:
        a. pejabat polisi negara Republik Indonesia;
        b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.”
        Pasal ini memberikan wewenang kepada polisi untuk menyelidiki kasus pemerasan.
      • Pasal 184, yang berbunyi :
        “Alat bukti yang sah adalah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa.”
        Pasal ini mengatur alat bukti yang dapat digunakan dalam penyidikan, seperti keterangan saksi dan bukti fisik.

      4. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia,

        • Pasal 14 ayat (1) g
          “(1) Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13, Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas :
          g. melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya;”
          Pasal ini mendukung peran polisi dalam menangani kasus ini dengan membentuk tim investigasi.
        Hukum premanisme di Indonesia

        III. Analisis Hukum

        1. Identifikasi Tindak Pidana
          Kasus ini melibatkan tindak pidana berat, yaitu pemerasan (Pasal 368 KUHP). Pemerasan mencerminkan tindakan intimidasi untuk memperoleh keuntungan secara melawan hukum. Penggunaan kedok ormas menambah dimensi penyalahgunaan kelembagaan, yang dapat dikenai sanksi administratif atau yudisial berdasarkan UU Ormas.
        2. Proses Penegakan Hukum
          Penegakan hukum harus mematuhi KUHAP, termasuk pengumpulan alat bukti yang sah seperti keterangan saksi, bukti fisik, dan keterangan ahli. Pencabutan status ormas memerlukan proses yang ketat, baik melalui keputusan menteri atau putusan pengadilan, untuk memastikan keadilan dan kepastian hukum.
        3. Implikasi Hukum
          Jika pelaku terbukti bersalah, mereka dapat menghadapi hukuman berat:
        • Untuk pemerasan (Pasal 368 KUHP), pelaku dapat dihukum hingga 9 tahun penjara.
          Pencabutan status ormas yang terlibat akan memperkuat penegakan hukum dan menjadi efek jera bagi ormas lain. Namun, hal ini juga dapat menimbulkan resistensi dari anggota ormas atau pendukungnya, yang memerlukan pendekatan yang hati-hati.

        IV. Tantangan Hukum

          • Pembuktian Keterlibatan Ormas.
            Membuktikan bahwa tindak pidana dilakukan atas nama ormas secara organisasi memerlukan bukti yang kuat, seperti dokumen internal ormas atau keterangan saksi.
          • Proses Pencabutan Status.
            Prosedur yudisial untuk membubarkan ormas dapat memakan waktu dan sumber daya, terutama jika ormas memiliki basis pendukung yang besar.
          • Dampak Sosial.
            Pembubaran ormas dapat memicu ketegangan sosial, sehingga perlu komunikasi publik yang efektif untuk menjelaskan alasan hukumnya.
          • Gangguan Iklim Usaha
            Tindakan premanisme oleh ormas dapat menghambat investasi, sehingga penegakan hukum harus seimbang dengan upaya menjaga kepercayaan pelaku usaha.

          V. Rekomendasi

          1. Penegakan Hukum Tegas.
            Polisi harus mempercepat penyidikan dengan memastikan kelengkapan alat bukti untuk mendukung proses persidangan. Jika terbukti, pelaku harus dihukum sesuai KUHP, dan ormas yang terlibat harus dikenai sanksi berdasarkan UU Ormas.
          2. Penguatan Pengawasan Ormas.
            Pemerintah, melalui Kementerian Dalam Negeri, perlu meningkatkan pengawasan terhadap ormas dengan evaluasi berkala atas kegiatan dan kepatuhan hukum mereka.
          3. Edukasi Masyarakat.
            Program edukasi hukum harus digalakkan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang batasan hukum ormas dan konsekuensi tindak pidana.
          4. Kolaborasi Antar Lembaga.
            Koordinasi antara kepolisian, pengadilan, dan Kementerian Dalam Negeri harus diperkuat untuk memastikan penanganan kasus ormas premanisme dilakukan secara efektif dan terpadu.
          5. Peningkatan Keamanan Ekonomi.
            Pemerintah perlu bekerja sama dengan pelaku usaha untuk menciptakan lingkungan bisnis yang aman dari gangguan ormas, misalnya melalui pembentukan satgas keamanan usaha.

          V. Kesimpulan
          Kasus tindak pidana seperti pemerasan yang dilakukan dengan kedok ormas merupakan ancaman serius terhadap keamanan masyarakat dan iklim usaha di Indonesia.
          Dengan dasar hukum yang kuat, seperti KUHP, UU Ormas, KUHAP, dan UU Polri, penegakan hukum harus dilakukan secara tegas untuk memberikan keadilan bagi korban dan mencegah penyalahgunaan status ormas.
          Tantangan seperti pembuktian keterlibatan ormas dan potensi resistensi sosial memerlukan pendekatan yang hati-hati dan terkoordinasi. Rekomendasi ini bertujuan untuk memperkuat penegakan hukum, meningkatkan pengawasan ormas, dan menjaga stabilitas sosial serta ekonomi.