Review Hukum – Undang-Undang No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

  • Updated
  • Posted in Opini Hukum
  • 4 mins read
  • Artikel ini adalah hasil kolaborasi antara Kantor Hukum Surabaya Law Firm dengan Aliansi Advokat dan Paralegal Indonesia, Jakarta Selatan

I. LATAR BELAKANG

Review Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) diterbitkan pada 9 Mei 2022 sebagai respons terhadap meningkatnya kasus kekerasan seksual di Indonesia dan kurangnya regulasi komprehensif yang melindungi korban serta menangani pelaku. 

UU ini didasarkan pada Pasal 28G UUD 1945, yang menjamin hak atas perlindungan dan martabat manusia. 

Latar belakangnya mencakup:

  1. Kebutuhan akan perlindungan konstitusional dari kekerasan seksual.
  2. Ketidaksesuaian regulasi sebelumnya, seperti KUHP, dalam menangani kekerasan seksual secara holistik.
  3. Komitmen internasional Indonesia terhadap konvensi HAM, seperti CEDAW dan Konvensi Hak Anak.

II. ANALISIS ISI

A. Ketentuan Umum (Pasal 1-3)

  • Definisi Kunci: UU TPKS mengatur definisi Tindak Pidana Kekerasan Seksual, korban, anak, saksi, dan lembaga pendukung seperti LPSK dan UPTD PPA. Definisi ini luas dan inklusif, mencakup kekerasan berbasis elektronik.
  • Asas Hukum: Asas seperti penghargaan martabat, nondiskriminasi, dan kepentingan terbaik bagi korban (Pasal 2) selaras dengan prinsip HAM, meskipun implementasinya memerlukan regulasi turunan.

B. Tindak Pidana Kekerasan Seksual (Pasal 4-18)

  • Jenis Tindak Pidana: UU mengatur 18 jenis tindak pidana, termasuk pelecehan nonfisik (Pasal 5), pelecehan fisik (Pasal 6), dan eksploitasi seksual (Pasal 12), dengan ancaman pidana bervariasi (3 bulan hingga 15 tahun penjara).
  • Peningkatan Pidana: Pasal 15 menetapkan peningkatan hukuman sepertiga jika dilakukan dalam lingkup keluarga atau oleh tenaga profesional, pejabat, mencerminkan pendekatan preventif.
  • Korporasi: Pasal 18 mengatur tanggung jawab korporasi dengan denda Rp5 miliar hingga Rp15 miliar.

C. Hukum Acara (Pasal 20-64)

  • Alat Bukti: Pasal 24-25 memperluas alat bukti, termasuk rekam medis dan keterangan korban dengan satu bukti pendukung lain, yang mempermudah pembuktian.
  • Pemeriksaan Khusus: Pasal 49-55 mengatur perekaman elektronik dan pemeriksaan jarak jauh, melindungi korban dari trauma berulang, sesuai Pasal 28G UUD 1945.
  • Restitusi: Pasal 30-38 mewajibkan restitusi untuk korban, didukung penyitaan aset pelaku, yang menjadi terobosan dalam pemulihan korban.

D. Hak Korban dan Pelayanan Terpadu (Pasal 65-78)

  • Hak Korban: Pasal 67-70 menjamin hak atas penanganan, pelindungan, dan pemulihan, termasuk aksesibilitas untuk penyandang disabilitas.
  • Pelayanan Terpadu: Pasal 72-78 mewajibkan pembentukan UPTD PPA, yang memperkuat koordinasi lintas sektor.

E. Pencegahan dan Partisipasi (Pasal 79-86)

  • Pencegahan: Pasal 79-84 mengatur pendidikan dan pemantauan, yang strategis untuk mencegah kekerasan seksual.
  • Partisipasi Masyarakat: Pasal 85-86 mendorong peran keluarga dan masyarakat, sejalan dengan pendekatan komunitas.

F. Pendanaan dan Kerja Sama (Pasal 87-93)

  • Pendanaan: Pasal 87 mengatur sumber dana dari APBN/APBD, yang perlu diimbangi dengan alokasi yang jelas.
  • Efektivitas: Pasal 90 menetapkan tenggat adaptasi UPTD PPA (2-3 tahun), yang realistis namun memerlukan pengawasan ketat.

III. KELEBIHAN

  • Komprehensif: UU TPKS mencakup aspek materil (jenis tindak pidana), formil (hukum acara), dan restoratif (restitusi/pemulihan).
  • Perlindungan Korban: Fokus pada hak korban, termasuk perlindungan identitas dan akses layanan, sesuai standar HAM internasional.
  • Inovasi Hukum: Pengaturan kekerasan berbasis elektronik dan tanggung jawab korporasi menunjukkan adaptasi terhadap perkembangan teknologi dan ekonomi.
  • Dasar Konstitusional: Berpijak pada UUD 1945, memperkuat legitimasi hukum.

IV. KELEMAHAN

  • Kelemahan Teknis: Banyak pasal menyatakan “diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah” (misalnya Pasal 80, 84), yang dapat menunda implementasi.
  • Ketidakjelasan Sanksi: Ancaman pidana bervariasi tanpa pedoman jelas untuk penyesuaian, berpotensi inkonsistensi putusan hakim.
  • Keterbatasan SDM: Pasal 21 mensyaratkan pelatihan aparat, tetapi tidak ada mekanisme wajib atau sanksi jika tidak dipenuhi.
Review Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual

V. DAMPAK HUKUM

Dampak Positif:

  1. Meningkatkan perlindungan korban dan penegakan hukum terhadap pelaku.
  2. Mendorong kesadaran masyarakat melalui pendidikan pencegahan.
  3. Harmonisasi dengan hukum internasional, meningkatkan citra Indonesia.

Dampak Negatif:

  1. Potensi penyalahgunaan alat bukti elektronik jika tidak diawasi ketat.
  2. Beban administratif pada UPTD PPA dan LPSK dapat menghambat pelayanan jika sumber daya terbatas.

VI. REKOMENDASI PERBAIKAN

  1. Regulasi Turunan: Percepat penyusunan Peraturan Pemerintah untuk mengisi kekosongan hukum, terutama terkait restitusi dan pendanaan.
  2. Pedoman Penegakan: Susun panduan baku bagi hakim dan aparat untuk memastikan konsistensi sanksi dan pemeriksaan korban.
  3. Peningkatan Kapasitas: Wajibkan pelatihan berkala untuk aparat dengan sanksi tegas jika tidak dipatuhi.
  4. Monitoring dan Evaluasi: Bentuk tim independen untuk memantau implementasi UU, dengan laporan tahunan kepada DPR.
  5. Anggaran Terjamin: Pastikan alokasi dana spesifik untuk Dana Bantuan Korban melalui APBN tahunan.

VII. PENUTUP

UU TPKS merupakan langkah maju dalam penanganan kekerasan seksual di Indonesia, dengan pendekatan holistik yang mengintegrasikan pencegahan, penegakan hukum, dan pemulihan korban. 

Namun, keberhasilannya bergantung pada regulasi turunan, kapasitas institusi, dan komitmen anggaran. Dengan perbaikan yang tepat, UU ini dapat menjadi landasan kuat untuk menciptakan lingkungan bebas kekerasan seksual.